... PENYESALAN SEUMUR HIDUP, .. KISAH TENTANG AYAH TIRI ...
... PENYESALAN SEUMUR HIDUP, .. KISAH TENTANG AYAH TIRI ...
Bismillahir-Rahmaanir-Rahim ... Sepenggalan kisah ayah tiri yang
inspirasi dan motivasi hidup ini di copy dari Grup Chinese Indonesia di
Facebook.
Postingan ini sangat layak untuk kita baca dan resapi
arti dari setiap alur ceritanya. Terlebih kita para mahasiswa yang
sudah terlalu banyak menghabiskan uang orang tua demi menikmati
pendidikan di bangku perkuliahan.
{Agar semakin menyentuh,, sebaiknya kita membacanya sambil memutar lagu Ebiet G. Ade yang berjudul "Titip Rindu Buat Ayah"}
Selamat membaca cerita tentang Ayah Tiri yang sangat menyentuh ini ....
Ayah meninggal karena kanker paru-paru stadium akhir saat saya berusia 6
tahun. Beliau juga meninggalkan ibu dan adik saya yang masih berusia
dua tahun. Sejak saat itu kehidupan kami sehari-hari sangat sulit.
Setiap hari ibu bekerja membanting tulang di sawah hanya cukup
menyelesaikan masalah perut saja.
Saat saya berusia 9 tahun,
ibu menikah dengan seorang pria dan menyuruh kami memanggilnya ayah.
Pria tersebut adalah ayah tiri saya. Untuk selanjutnya dia yang menopang
keluarga kami.
Dalam ingatan masa kecil, ayah tiri saya
seorang yang sangat rajin, dia juga sangat menyayangi ibu.Pekerjaan apa
saja dalam keluarga yang membutuhkan tenaganya akan dia lakukan,
selamanya tidak membiarkan ibu untuk campur tangan.
Sehari-hari
ayah tiri adalah orang yang pendiam. Usianya kira-kira empat puluhan
lebih, berperawakan tinggi dan kurus, tetapi bersemangat. Dahinya hitam,
memiliki sepasang tangan besar yang kasar, di wajahnya yang kecoklatan
terdapat sepasang mata kecil yang cekung.
Ayah tiri saya
mempunyai suatu kebiasaan, tidak peduli pergi kemana pun, diatas
pinggangnya selalu terselip sebatang pipa rokok antik berwarna coklat
kehitaman. Setiap ada waktu senggang dia selalu menghisap rokok
menggunakan pipa itu. Sejak dulu saya tidak suka dengan perokok, oleh
karenanya saya juluki dia dengan sebutan “setan perokok”.
Dalam
ingatan saya, ayah tiri selalu tenang dalam menghadapi segala
persoalan, tidak peduli besar kecilnya permasalahan selalu dihadapinya
dengan santai. Namun hanya karena sebatang pipa rokok, ayah tiri telah
memberikan saya sebuah tamparan yang sangat keras.
Teringat
waktu itu ayah tiri baru saja menjadi anggota keluarga kurang lebih
setengah tahun, suatu hari saya mencuri pipa rokoknya untuk saya
sembunyikan. Hasilnya, ayah tiri selama beberapa hari merasa gelisah dan
tak tenang, sepasang matanya merah laksana berdarah. Akhirnya karena
saya diinterogasi dengan keras oleh ibu, dengan berat hati saya
menyerahkan pipa rokok itu.
Ketika saya menyerahkan pipa itu
kehadapan ayah tiri, dia menerimanya dengan tangan gemetaran dan tak
lupa dia memberikan saya satu tamparan keras, kedua matanya berlinangan
air mata.
Saya sangat ketakutan dan menangis, ibu menghampiri
dan memeluk kepala saya lalu berkata, “Lain kali jangan pernah menyentuh
pipa rokok itu, mengertikah kamu? Pipa itu adalah nyawanya!”
Setelah kejadian itu, pipa rokok itu menjadi penuh misteri bagiku. Saya
berpikir, “Ada apa dengan pipa itu sehingga membuat ayah tiri bisa
meneteskan air mata? Pasti ada sebuah kisah tentangnya.”
Mungkin tamparan itu telah menyebabkan dendam terhadap ayah tiri, tidak
peduli bagaimanapun jerih payah pengorbanannya, saya tidak pernah
menjadi terharu. Sejak usia belia, saya selalu berpendapat ayah tiri
sama jahatnya seperti ibu tiri dalam dongeng Puteri Salju. Sikap saya
terhadap ayah tiri sangat dingin, acuh tidak acuh, lebih-lebih jangan
harap menyuruh saya memanggil dia “ayah”.
Tapi ada sebuah peristiwa yang membuat saya mulai ada sedikit kesan baik terhadap ayah tiri.
Suatu hari ketika saya baru pulang dari sekolah, begitu masuk rumah
segera melihat kedua tangan ibu memegangi perut sambil berteriak
kesakitan. Ibu bergulung-gulung di ranjang, butiran besar keringat
dingin bercucuran di wajahnya yang pucat.
Celaka! Penyakit maag
ibu kambuh lagi! Saya dan adik menangis mencari ayah tiri yang bekerja
disawah. Mendengar penuturan kami, dia segera membuang cangkul
ditangannya, sandal pun tak sempat dia pakai. Sesampai dirumah tanpa
berkata apapun segera mengendong ibu kerumah sakit seperti orang sedang
kesurupan. Ketika ibu dan ayah tiri kembali kerumah, hari sudah larut
malam, ibu kelelahan tertidur pulas diatas pundak ayah tiri.
Melihat kami berdua, ayah tiri dengan nafas tersengal-sengal, tertawa
dan berkata kepada kami, “Beres, sudah tidak ada masalah. Kalian
pergilah tidur, besok masih harus bersekolah!” Saya melihat butiran
keringat sebesar kacang berjatuhan bagai butiran mutiara yang terburai,
jatuh pada sepasang kaki besarnya yang penuh tanah.
Kesengsaraan yang saya alami dimasa kecil, membuat saya memahami
penderitaan seorang petani. Saya menumpahkan segala harapan saya pada
ujian masuk ke Universitas. Tetapi pertama kali mengikuti ujian, saya
mengalami kegagalan.
“Bu, saya sangat ingin mengulang satu tahun lagi,” pinta saya pada ibu.
“Nak, kamu tahu sendiri keadaan ekonomi kita, adikmu juga masih sekolah
di SMA, kesehatan ibu juga tidak baik, pengeluaran dalam keluarga semua
menggantungkan ayahmu. Lihatlah sendiri ada berapa gelintir orang di
desa ini yang mengenyam pendidikan SMA? Ibu berpendapat kamu pulang
kerumah untuk membantu ayahmu!”
Tetapi saya sudah menetapkan
niat, bersikap teguh tidak mau mengalah. Saat itu ayah tiri tidak
mengatakan apa-apa, dia duduk dihalaman luar menghisap rokok dengan pipa
kesayangannya. Saya tak tahu didalam benaknya sedang memikirkan apa.
Keesokan harinya ibu berkata kepada saya, “Ayah setuju kamu menuntut ilmu lagi selama satu tahun, giatlah belajar!”
Ayah tiri menjadi orang yang pertama kali menerima dan membaca surat
penerimaan mahasiswa saya. “Bu, anakmu diterima diperguruan tinggi!”
teriaknya.
Saya dan ibu berlari keluar dari dapur. Ibu melihat
dan membolak-balik surat panggilan itu meski satu huruf pun dia tidak
mengenalinya. Tetapi kegembiraan itu tersirat dari tingkah lakunya.
Malam itu tak tahu mengapa ayah tiri sangat gembira hingga bicaranya
juga banyak.
Saya mengambil poci teh dimeja makan dan dengan
sikap sangat hormat menuangkan teh itu satu gelas penuh untuk ayah tiri.
Hitung-hitung sebagai rasa terima kasih atas jerih payahnya selama satu
tahun! Dengan takjub ayah tiri memandang kearah saya, wajahnya penuh
dengan kegembiraan. Sekali mengangkat gelas dan meneguk habis, mulutnya
tak henti-hentinya berkata, “Patut, sangat patut sekali!”
Tetapi untuk selanjutnya biaya uang sekolah perguruan tinggi sejumlah
4.000 yuan itu membuat keluarga cemas. Ibu mengeluarkan segenap uang
tabungannya serta menjual dan meminjam kesana kemari, tetap masih kurang
500 yuan.
Bagaimana ini? Kuliah akan dimulai satu hari lagi.
Saat makan malam, hidangan diatas meja tidak ada seorang pun yang
menyentuhnya. Ibu menghela napas panjang sedangkan ayah tiri berada
disampingnya sambil merokok, sibuk memperbaiki alat tani ditangannya,
saya tidak tahu mengapa hatinya begitu tenang? Suara napas ibu membuat
hati saya hancur luluh lantak.
“Sudahlah saya tidak mau kuliah!
Apa kalian puas?” Saya berdiri dengan gusar, dan bergegas masuk kamar,
merebahkan diri di ranjang lalu mulai menangis…….. Saat itu saya
merasakan ada satu tangan besar yang keras menepuk-nepuk pundak saya,
“Sudah dewasa masih menangis, besok ayah pergi berusaha, kamu pasti bisa
kuliah.”
Malam itu ayah membawa pipa rokoknya, menghisap
seorang diri dihalaman rumah hingga larut malam, percikan api rokok yang
sekejap terang dan gelap menyinari wajahnya yang banyak mengalami pahit
getir kehidupan.
Dia memincingkan sepasang mata, raut wajahnya
menyembunyikan perasaan dan sangat berat. Kepulan asap rokok dengan
ringan menyebar didepan matanya, mengaburkan pandangan, tiada seorang
pun tahu apa yang sedang dia pikirkan, tetapi yang pasti dalam hatinya
tidak tenang.
Keesokan hari ibu memberitahu saya bahwa ayah
tiri pergi ke kabupaten. “Pergi untuk apa?” Percikan bunga api dari
harapan hati saya tersirat keluar.
“Dia bilang pergi kekota mencari teman menanyakan apakah bisa pinjami uang.”
“Apa usaha temannya?” Ibu menggelengkan kepala, mulutnya bergumam, “Tidak tahu.”
Hari itu saya menunggu didepan desa, memandang kearah jalan kecil yang
berkelok-kelok. Untuk kali pertama perasaan hati saya ada semacam
dorongan ingin bertemu ayah tiri, dan untuk kali pertama saya merasakan
berharganya sosok ayah tiri dalam jiwa saya, masa depan saya tergantung
pada dirinya.
Hingga malam saya baru melihat ayah tiri pulang.
Saat saya melihat wajahnya yang penuh senyuman, hati saya yang selalu
cemas, akhirnya bisa merasa lega. Ibu bergegas mengambil seember air
hangat untuk merendam kakinya. “Celupkanlah kakimu, berjalan pulang
pergi 40 kilometer perjalanan cukup membuat lelah.” Dengan lembut ibu
berkata kepada ayah tiri.
Saya mengamati wajah ayah tiri dengan
saksama, dan menemukan bahwa dia bukan lagi seorang pria yang masih
kuat dan kekar seperti dulu. Wajahnya pucat pasi dan bibir membiru,
dahinya hitam penuh dengan kerutan, rambut pendek serta tangan kurus
bagaikan kayu bakar, penuh dengan tonjolan urat hijau.
Memang
benar, ayah tiri sudah tua. Dengan hati-hati ibu melepaskan sepasang
sepatunya yang hampir rusak. Dibawah sinar temaram lampu neon, terlihat
sebuah benjolan darah besar yang sudah membiru masuk dalam pandangan
saya, tak tertahankan hati saya merasa bersedih, air mata saya diam-diam
menetes keluar……..
Keesokan hari ketika saya berangkat kuliah,
ayah tiri mengatakan dia tidak enak badan, diluar dugaan dia tidak bisa
bangun dari tempat tidur. Dalam perjalanan mengantar saya kuliah ibu
berkata, “Nak, kamu sudah dewasa, diluar sana semuanya tergantung pada
diri sendiri. Sebenarnya ayah tirimu itu sangat menyayangimu, dia sangat
mengharapkanmu memanggilnya ayah! Tetapi kamu……”
Suara ibu sesenggukan, saya menggigit bibir dengan suara lirih berkata, “Lain kali saja, Bu!”
Setiap kali membayar uang kuliah, ayah tiri pasti pergi ke kota untuk
meminjam uang. Ketika liburan musim dingin dan panas tiba, saya jarang
berbicara dengan ayah tiri dirumah, dia sendiri juga jarang menanyakan
keadaan saya. Tetapi kegembiraan ayah tiri bisa dirasakan setiap orang.
Setiap kali kembali ketempat kuliah, ayah tiri pasti akan mengantar
sampai ketempat yang cukup jauh. Sepanjang perjalanan dia kebanyakan
hanya menghisap pipa rokoknya. Semua kata-kata yang ingin saya utarakan
kepadanya tidak tahu harus dimulai dari mana.
Sebenarnya dalam
hati kecil sejak dulu sudah menerimanya seperti ayah kandung, cinta
kasih kadang kala sangat sulit untuk diutarakan! Dengan demikian saya
selalu tidak bisa merealisasikan janji saya terhadap ibu.
Pada
liburan tahun baru, rumah terkesan ramai sekali. Saat itu saya sudah
kuliah di semester-6. Adik meminta saya bercerita tentang hal-hal
menarik di kota, ayah tiri duduk dibelakang ibu, sibuk mengeluarkan abu
tembakau setelah itu memasukkan tembakau kedalam pipa, wajahnya penuh
dengan senyum kebahagiaan. Saya bercerita tentang keadaan kota, adik
membelalakkan mata dengan penuh rasa ingin tahu.
“Ah, teman
sekelas kakak kebanyakan sudah mempunyai ponsel dan laptop, sedangkan
kakak sebuah arloji pun tidak punya.......” Pada akhirnya saya mengeluh
dengan nada bergumam. Saat itu saya melihat wajah ayah tiri sedikit
tegang, segera ada perasaan menyesal telah mengucapkan perkataan itu.
Saat liburan usai saya harus meninggalkan rumah kembali kuliah. Seperti
biasa ayah tiri mengantar kepergian saya. Sepanjang perjalanan beberapa
kali ayah tiri memanggil saya, tetapi ketika saya menanggapi, dia
membatalkan berbicara, sepertinya mempunyai beban pikiran yang sangat
berat. Saya sangat berharap ayah tiri bisa memulai topik pembicaraan,
agar bisa berkomunikasi baik dengannya, namun saya selalu kecewa.
Ketika berpisah, ayah tiri berkata dengan kaku, “Saya tidak mempunyai
kepandaian apa-apa, tidak bisa membuat hidup kalian bahagia, saya sangat
menyesalinya. Jika engkau sukses kelak, harus berbakti pada ibumu,
biarkan dia bisa menikmati hari tua dengan bahagia…” Saya menerima koper
baju yang disodorkannya.
Tiba-tiba saya melihat sepasang
matanya berkaca-kaca. Hati saya menjadi trenyuh, mendadak merasakan ada
semacam dorongan hati yang ingin memanggilnya “Ayah”, tetapi kata yang
telah mengendap lama ini akan terlontar dari mulut, mendadak tertelan
kembali.
Ketika saya telah berjalan jauh, saya lihat ayah tiri
masih berdiri ditempat itu sama sekali tak bergerak, bagaikan patung.
Dalam hati saya berjanji: ketika pulang nanti, saya pasti akan
memanggilnya “Ayah”. Namun kesempatan itu tak pernah saya dapatkan lagi.
Saya tak mengira perpisahan kali ini untuk selamanya.
Dua
bulan setelah itu saya mendapat kabar bahwa ayah tiri meninggal dunia.
Bagaikan halilintar di siang bolong, benak saya menjadi kosong, serasa
dunia ini sudah tiada lagi. Saya pulang dengan perasaan linglung, yang
menyambut saya dirumah adalah pipa rokok berwarna coklat kehitaman yang
tergantung di tembok.
“Satu-satunya hal yang paling disesali
ayah adalah tidak seharusnya menamparmu, setiap kali mengantarmu kembali
ke kampus, dia sangat ingin meminta maaf, tetapi ucapan itu selalu tak
bisa keluar dari mulutnya. Sebenarnya masalah itu tidak bisa menyalahkan
dirinya, kamu tidak tahu betapa sengsara hatinya, pipa itu adalah
kesedihan seumur hidupnya!” Dengan hati pedih ibu bercerita.
Melihat benda peninggalan itu teringat pemiliknya, dengan hati-hati saya
ambil pipa yang tergantung di tembok itu, pandangan mata saya kabur
karena air mata, merasakan kesedihan yang menusuk hati. Ibu juga
tergerak hatinya, dia lalu bercerita tentang misteri pipa rokok itu…
Tiga puluh tahun lalu, ayah tiri hidup saling bergantung dengan
ayahnya. Ibu dengan ayah tiri adalah teman sepermainan sejak
kanak-kanak. Setelah mereka tumbuh dewasa, mereka sudah tak terpisahkan
lagi. Tetapi jalinan kasih mereka mendapatkan tentangan keras kakek,
sebab keluarga ayah tiri terlalu miskin.
Karena ibu dan ayah
tiri dengan tegas mempertahankan hubungan mereka, kakek terpaksa
mengajukan sejumlah besar mas kawin kepada keluarga ayah tiri baru mau
merestui pertunangan mereka.
Demi anak satu-satunya, ayah dari
ayah tiri itu pergi bekerja di perusahaan penambangan batu bara. Malang
tak dapat ditolak, terjadi kecelakaan di tambang itu. Dinding tambang
runtuh dan menimbun sang ayah untuk selamanya. Barang peninggalan
satu-satunya hanyalah pipa rokok kesayangannya semasa hidup.
Ayah tiri sangat sedih, seumur hidup orang yang paling dia hormati dan
sayangi adalah ayahnya. Kemudian ayah tiri menyalahkan dirinya dan
merasakan penyesalan yang mendalam hingga tak ingin hidup lagi.
Keesokan harinya dia diam-diam meninggalkan rumah dengan membawa pipa rokok itu, tak seorang pun tahu kemana perginya…
Dua tahun kemudian ayah tiri kembali lagi kekampung halamannya, tetapi
ibu satu tahun sebelum ayah tiri kembali dipaksa untuk menikah dengan
ayah kandung saya. Untuk selanjutnya ayah tiri tidak menikah, yang
menemani hidupnya adalah sebatang pipa rokok yang tidak pernah lepas
darinya.
Setelah ayah kandung saya meninggal, ayah tiri
memberanikan diri menanggung segala tanggung jawab untuk menjaga ibu,
saya dan adik. Sejak awal dia menolak mempunyai anak sendiri, dia
berkata kami ini adalah anak kandungnya.
Selesai mendengarkan
penuturan ibu, tak terasa wajah saya penuh dengan air mata. Sungguh tak
menduga jika pipa rokok itu bukan hanya memiliki kisah berliku
perjalanan cinta mereka, namun juga mengandung ingatan yang amat berat
bagi seumur hidup ayah tiri!
“Ayah meninggal dunia karena
pendarahan otak, sebelumnya dia sudah tidak bisa berbicara, hanya
memandang Ibu dengan tangannya menunjuk ke arah kotak kayu. Ibu mengerti
maksudnya hendak memberikan kotak kayu tersebut kepadamu. Didalam kotak
itu terdapat beberapa lembar surat hutang, mungkin dia bermaksud
menyuruhmu membayarkan hutangnya. Seumur hidupnya, dia tak ingin
berhutang pada orang lain….”
Dengan sesenggukan saya menerima
kotak kayu itu dan membukanya dengan perlahan. Ada delapan lembar kertas
didalamnya. Saya membacanya dan terkejut bukan main, tubuh menjadi
lemas terkulai diatas ranjang.
Ibu saya buta huruf,
kertas-kertas yang ada dalam kotak itu bukan surat hutang seperti yang
dikatakannya, melainkan tanda terima jual darah! Ayah tiri telah menjual
darahnya! Kepala saya terasa pusing dan tangan saya lemas. Kotak kayu
itu terjatuh, dari dalamnya menggelinding keluar sebuah alroji baru…
“Ayah! Ayah..” Berlutut didepan kuburan ayah tiri dengan air mata
bercucuran, saya hanya bisa menepuk-nepuk onggokan tanah kuning yang ada
dihadapan saya. Tetapi biar bagaimanapun saya berteriak-teriak, tetap
tak akan memanggil kembali bayangannya.
Ketika saya pergi
meninggalkan rumah, saya membawa pipa rokok coklat kehitaman itu, saya
akan mendampingi pipa ini untuk seumur hidup saya, mengenang ayah tiri
untuk selamanya.
.... "Jangan sampai menyesali perbuatan anda
selama ini, lakukan semua yang terbaik kepada orang2 yang telah
berkorban banyak bagi masa depan anda.Sayangi dan hargailah mereka!!!"
...
Sekarang saatnya kawan, jangan tunggu nanti .. apalagi esok ..!
.... Segala puji bagi Allah, yang dengan nikmat-Nya sempurnalah semua kebaikan ....
Barakallahufikum ....
Salam Terkasih ..
Dari Sahabat Untuk Sahabat ...
... Semoga tulisan ini dapat membuka pintu hati kita yang telah lama terkunci ...
~ o ~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar