Jumat, 20 April 2012

Kajian Etika Memberi Nasihat

“Mereka itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa yang di dalam hati mereka. karena itu berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka nasihat (perkataan) yang berbekas pada jiwa mereka.”(Q.S. al-Nisâ’ [4]: 63)

Nasihat adalah hal yang besar untuk mengubah diri, keluarga, dan bangsa menjadi manusia yang beradab. Oleh karena itu, sudah seyogyanya kita saling menasihati satu dengan lainnya. Barang siapa diminta nasihat oleh saudaranya hendaklah ia penuhi, dan jangan sekali-kali menolaknya karena alasan malas atau masih kurang ilmunya, karena itu adalah hak saudara kita. Perhatikanlah hadits dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda, “Hak seorang muslim terhadap sesama muslim ada enam, yaitu bila engkau berjumpa dengannya ucapkanlah salam, bila ia memanggilmu penuhilah, bila dia meminta nasihat kepadamu nasihatilah, bila dia bersin dan mengucapkan alhamdulillâh bacalah yarhamukallâh ,semoga Allah memberikan rahmat kepadamu,  bila dia sakit jenguklah dan bila dia meninggal dunia hantarkanlah (jenazahnya)”. (HR Muslim)

Perlu diketahui bahwa hikmah atau ilmu itu bisa datang dari siapa saja. Ada pepatah nasihat mengatakan, “Kalau seandainya ada hikmah dari seekor mulut anjing, maka ambillah hikmah tersebut.”  artinya setiap apa yang telah Allah ciptakan pasti ada hikmah dibalik itu semua, walaupun itu buruk dan menjijikan, Maha Suci Allah atas segala ciptaan-Nya. Dan tak kalah penting, dalam memberikan nasihat, berbicaralah yang baik, jahuilah ucapan yang aneh-aneh dan dapat menimbulkan hal-hal yang controversial. Tunjukkan kepada amal-amal shaleh, bersikaplah yang seimbang dan jangan membuat orang lain merasa bosan.

Etika Memberi Nasihat

Kita ketahui bersama, ada sebagian orang yang melecehkan atau meremehkan nasihat. Mereka menganggap para pemberi nasihat sebagai tukang dongeng yang suka membual. Anggapan ini, menurut saya adalah hanya bagi mereka yang dangkal pemahaman agamanya. Bukannya agama itu sendiri adalah nasihat? Dari Abi Ruqayyah Tamim Aus al-Dary Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda, “Agama itu nasihat,” kami berkata, “Kepada siapa? Beliau bersabda,”Kepada Allah, Kitab-Nya,  Rasul-Nya, kepada pemimpin kaum muslimin dan rakyatnya  (HR Bukhari dan Muslim). Bahkan salah satu tugas penting mereka adalah memberikan nasihat kepada yang lainnya (umat).  Sebagaimana firman Allah Subhanhu wa Ta’ala, “…dan berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka nasihat (perkataan) yang berbekas pada jiwa mereka.” (Q.S. al-Nisâ’ [4]: 63).

Abdullah bin Abdul Aziz bin Baz melalui karyanya Ashl al-Qismu al-Ilmi menyampaikan pada kita etika dalam memberikan nasihat, yaitu: pertama, hendaknya ikhlas di dalam memberikan nasihat, tidak mengharap apapun di balik nasihat selain keridhaan Allah Subhannahu wa Ta’ala dan terlepas dari kewajiban. Dan hendaknya nasihat bukan untuk tujuan riya` atau mendapat perhatian orang atau popularitas atau menjatuhkan orang yang diberi nasihat. Kedua, hendaknya nasihat dengan cara yang baik dan tutur kata yang lembut dan mudah hingga dapat berpengaruh kepada orang yang dinasihati dan mau menerimanya. Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman, “Serulah kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah, nasihat yang baik dan debatlah ia dengan cara yang lebih baik”. (Q.S. al-Nahl [16]: 125). Ketiga, hendaknya orang yang dinasihati itu di saat sendirian, karena yang demikian itu lebih mudah ia terima. Karena siapa saja yang menasihati saudaranya di tengah-tengah orang banyak maka berarti ia telah mencemarkannya, dan barangsiapa yang menasihatinya secara sembunyi maka ia telah menghiasinya. Imam Syafi`i rahimahullah berkata, “Berilah aku nasihat secara berduaan, dan jauhkan aku dari nasihatmu di tengah orang banyak; karena nasihat di tengah-tengah orang banyak itu mengandung makna celaan yang aku tidak suka mendengarnya”. Keempat, hendaknya pemberi nasihat mengerti betul dengan apa yang ia nasihatkan, dan hendaknya ia berhati-hati dalam menukil pembicaraan agar tidak dipungkiri, dan hendaklah ia memerintah berdasarkan ilmu, karena yang demikian itu lebih mudah untuk diterima nasihatmu.

Kelima, hendaknya orang yang memberi nasihat memperhatikan kondisi orang yang akan dinasihatinya. Maka hendaknya tidak menasihatinya di saat ia sedang kalut, atau di saat ia sedang bersama rekan-rekannya atau kerabatnya. Dan hendaklah pemberi nasihat mengetahui perasaan, kedudukan, pekerjaan dan problem yang dihadapi orang yang akan dinasihati itu. Keenam, hendaknya pemberi nasihat menjadi teladan bagi orang yang akan dinasihati, agar jangan tergolong orang yang bisa menyuruh orang lain berbuat kebaikan sedangkan ia lupa terhadap diri sendiri. Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman tentang Nabi Syu`aib, “Dan aku tidak berkehendak menyalahi kamu (dengan mengerjakan) apa yang aku larang” (Q.S. Hûd [11]: 88). Ketujuh, hendaknya pemberi nasihat sabar terhadap kemungkinan yang menimpanya. Luqman berkata kepada anaknya, “Wahai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang ma`ruf dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang munkar dan sabarlah terhadap apa yang menimpamu”. (Q.S. Luqmân [31]: 17). Luqman menyuruh anaknya untuk sabar terhadap kemungkinan yang terjadi karena ia memerintah orang lain mengerjakan kebaikan dan mencegah

Nasihat Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam
Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam berkata (memberikan nasihat) pada Ali, “Wahai Ali, jangan engkau ikuti pandanganmu dengan pandangan yang lain. Sesungguhnya pandangan yang pertama itu adalah keuntunganmu, sedangkan pandangan yang kedua adalah dosa bagimu.” Menurut al-Mâwardi, hadits ini mengandung dua interpretasi: pertama, jangan kamu lanjutkan pandangan matamu dengan pandangan hatimu dan kedua, jangan kamu lanjutkan pandangan pertamamu yang terjadi secara tidak sengaja dengan pandangan keduamu yang disengaja. Isa bin Maryam Alaihissalam. berkata, “Berhati-hatilah dengan pandangan pertama yang diikuti dengan pandangan yang lain. Sesungguhnya ia dapat menanamkan syahwat dalam hati yang cukup untuk mendatangkan fitnah bagi pelakunya.” Dalam kesempatan lain al-Mâwardi mengutip perkataan Ali bin Abi Thalib r.a. ia berkata, “Mata adalah perangkap setan.”

Imam al-Mâwardi memberikan tips untuk menundukkan syahwat, yaitu: Pertama, menundukkan pandangan mata dari pengaruhnya dan mencegahnya dari membantunya. Sebab pandangan mata adalah pemimpin yang menggerakkan, sekaligus yang memusnahkan. Said bin Sinan meriwayatkan dari Anas bin Malik bahwa Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda, “Datangkanlah kepadaku enam perkara, maka aku akan mendatangkan surga pada kalian. Para sahabat bertanya, “Apa itu ya Rasulullah?” Nabi menjawab, “Jika berbicara jangan berbohong, jika berjanji janganlah mengingkari, jika diberi amanah janganlah berkhianat, tundukkanlah pandangan mata kalian, jagalah kemaluan kalian, dan tahanlah tangan kalian.” (HR).

Kedua, menjadikan jiwa menyukai yang halal dan memuaskannya dengan sesuatu yang mubah sebagai pengganti dari yang haram. Sebab Allah Subhanhu wa Ta’ala, tidak mengharamkan sesuatu melainkan Dia juga yang akan  mencukupinya dengan hal mubah yang sejenis yang diharamkan, karena Dia mengetahui gejolak syahwat dan komposisi fitrah manusia. Semua ini dijadikannya sebagai alat pembantu bagi manusia untuk taat kepada-Nya dan sebagai benteng dari melanggar perintah-Nya. Umar bin Khaththab berkata, “Allah Subhanhu Wa Ta'ala tidak memerintahkan sesuatu melainkan Dia juga yang membantu pelaksaannya, dan tidak mengharamkan sesuatu  melainkan Dia jadikan manusia tidak menyukainya.” Dalam hal ini Allah berfirman, “Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik, makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi al-kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi al-kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam), maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi.” (Q.S. al-Mâidah [5]: 5)

Ketiga, membuat jiwa merasakan ketaqwaan kepada Allah dalam menjalankan perintah-Nya, menjauhi larangan-Nya, menjalankan ketaatan yang diwajibkan kepadanya, berhati-hati berbuat maksiat kepada-Nya, menegaskan bahwa Allah mengetahui isi hati manusia, Allah Subhanhu Wa Ta'ala berfirman, “Mereka itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa yang di dalam hati mereka. karena itu berpalinglah kamu dari mereka…” (Q.S. al-Nisâ’[4]: 63), memberi pahala bagi kebaikkan dan membalas semua keburukan. Kita simak Firman Allah Subhanhu wa Ta’ala, “Dan peliharalah dirimu dari (azab yang terjadi pada) hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah. Kemudian masing-masing diri diberi balasan yang sempurna terhadap apa yang telah dikerjakannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan).” (QS al-Baqarah [2]: 281

Dari uraian singkat ini, penulis mencoba memberikan sedikit kalimat nasihat, bahwa sebagian tanda orang yang baik (muhsin) adalah dia akan selalu memanfaatkan waktu yang telah Allah anugrahkan padanya dengan baik, sabar dan ikhlas. Ketika dia mendapat rizqi dari Allah, segera dia shadaqahkan atau infaqkan pada yang berhaq, tidak ada bank baginya melainkan kotak infaq, tidak ada pembelajaan melainkan pada yang haq. Dia (hampir) tidak melakukan perbuatan yang dianggapnya tidak mendatangkan manfaat baginya dan bagi orang lain. Hidupnya hanya untuk mengabdikan pada Allah, demi menggapai ridha-Nya. Ashlih Nafsaka wa al-Ad’û Ghairaka, Wa Allâhu A’lam bi al-Shawwâb,.[]
Fathurrahmân bin Ahmad
Santri Ma’had Umar bin Khaththab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar