::: Fatwa-Fatwa Ramadhan untuk Wanita :::
::: Fatwa-Fatwa Ramadhan untuk Wanita :::
1. Pertanyaan: Apakah hukumnya menunda qadha puasa hingga setelah Ramadhan tahun depan?
Jawaban: Barangsiapa yang berbuka di bulan Ramadhan karena safar atau
sakit atau semisalnya, maka ia harus mengqadha sebelum Ramadhan tahun
depan, waktu di antara dua Ramadhan adalah kesempatan luas dari Rabb.
Maka jika ia menundanya hingga setelah Ramadhan tahun depan, maka ia
harus mengqadha ditambah memberi orang miskin setiap hari, sebagaimana
fatwa jamaah dari sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Memberi
makan ini adalah sebanyak setengah sha' dari makanan negeri itu, yaitu
sekitar satu setengah kg. (1,5 kg). Berupa kurma atau beras atau yang
lainnya. Jika ia mengqadha sebelum Ramadhan tahun berikutnya maka ia
tidak wajib memberi makan. (Syaikh bin Baz rahimahullah).
2.
Pertanyaan: Sejak sekitar sepuluh tahun, balighnya saya lewat
tanda-tanda baligh yang dikenal, namun di tahun pertama dari balighnya
saya, saya menemui bulan Ramadhan dan tidak puasa. Apakah saya wajib
mengqadha? Apakah ada kewajiban lain selain qadha?
Jawaban :
Kamu harus mengqadha satu bulan yang kamu tidak puasa disertai taubat
dan istighfar, dan kamu juga harus memberi makan orang miskin setiap
hari sebanyak setengah sha' dari makanan negeri berupa kurma atau beras
atau selainnya, apabila engkau mampu. Adapun bila engkau fakir yang
tidak mampu, maka tidak ada kewajiban atasnya selain puasa. (Syaikh bin
Baz rahimahullah).
3. Pertanyaan: Apabila wanita nifas sudah
suci setelah empat puluh hari, apakah ia wajib puasa dan shalat atau
tidak? Dan apabila datang haidh setelah itu apakah ia harus berbuka? Dan
apabila ia suci yang kedua kali, apakah ia harus puasa dan shalat atau
tidak?
Jawaban : Apabila wanita nifas sudah suci setelah empat
puluh hari, ia harus mandi, shalat, puasa Ramadhan, dan halal untuk
suaminya. Jika darah datang kembali sebelum empat puluh hari, ia harus
meninggalkan shalat, puasa, dan haram atas suami menurut pendapat para
ulama yang paling shahih, dan jadilah ia sama seperti hukum nifas sampai
ia suci atau sempurna empat puluh hari. Apabila ia suci sebelum empat
puluh hari atau pas empat puluh hari, ia harus mandi, shalat, puasa, dan
halal bagi suaminya. Dan jika darah terus keluar setelah empat puluh
hari, maka darah itu adalah darah rusak, ia tidak boleh meninggalkan
shalat dan puasa, bahkan ia harus shalat, puasa Ramadhan, dan halal bagi
suaminya seperti wanita yang istihadhah. Ia wajib beristinja dan
membungkus darah dengan kapas dan semisalnya dan berwudhu setiap kali
shalat, karena Nabi menyuruh wanita yang istihadhah seperti itu, kecuali
bila tiba waktu haidhnya maka ia harus meninggalkan shalat. (Syaikh bin
Baz rahimahullah).
4. Pertanyaan: Apakah boleh menunda mandi
janabah hingga terbit fajar? Dan apakah wanita boleh menunda mandi haidh
atau nifas hingga terbit fajar?
Jawaban: Apabila wanita sudah
suci sebelum fajar, maka ia harus puasa dan tidak mengapa menunda mandi
hingga terbit fajar, akan tetapi ia tidak boleh menundanya hingga terbit
matahari, dan laki-laki harus segera melakukan hal itu sehingga ia bisa
shalat jamaah bersama jamaah. (Syaikh Bin Baz rahimahullah).
5. Pertanyaan: Apakah kewajiban wanita hamil atau menyusui apabila
berbuka di bulan Ramadhan? Apakah yang cukup untuk memberi makan dari
beras?
Jawaban: Wanita hamil dan menyusui tidak boleh berbuka
di siang hari bulan Ramadhan kecuali karena uzur. Jika berbuka karena
uzur ia harus mengqadha puasa berdasarkan firman Allah Subhanallahu wa
ta’ala :
فمن كان منكم مريضاً أو على سفر فعدة من أيام أخر ( البقرة :184)
Maka jika di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia
berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang
ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. (QS. al-Baqarah:184)
Keduanya sama seperti orang sakit, jika alasannya karena khawatir
terhadap anak, maka keduanya harus mengqadha dan memberi makan orang
miskin setiap hari berupa beras, korma dan yang lainnya dari makanan
manusia. Sebagian ulama berkata: keduanya hanya wajib mengqadha dalam
konsidi bagaimanapun, karena tidak ada dalil mewajibkan dari al-Qur`an
dan sunnah, dan pada asalnya adalah tidak ada tanggungan sehingga adanya
dalil atas hal itu, ini adalah pendapat mazhab Abu Hanifah, ia adalah
pendapat yang kuat. (Syaikh Utsaimin rahimahullah).
6.
Pertanyaan: seorang wanita melahirkan di bulan Ramadhan dan tidak
mengqadha setelah Ramadhan karena khawatir terhadap anaknya, kemudian
dan melahirkan di bulan Ramadhan berikutnya, bolehkah ia mengganti
dengan uang sebagai pengganti puasa?
Jawaban: wanita ini wajib
puasa sebagai pengganti hari-hari yang ia telah berbuka, sekalipun
setelah Ramadhan berikutnya, karena ia meninggalkan qadha di antara
pertama dan kedua karena uzur. Saya tidak tahu, apakah ia merasa berat
melaksanakan di musim dingin sedikit demi sedikit. Sekalipun ia
menyusui, sesungguhnya Allah Subhanallahu wa ta’ala memberinya kekuatan
untuk mengqadha Ramadhan kedua. Jika ia tidak bisa, ia boleh menundanya
hingga ramadhan kedua. (Syaikh Utsaimin rahimahullah).
7.
Pertanyaan: ada sebagian wanita yang menkonsumsi obat penghalang haid
dan tujuannya adalah agar tidak perlu mengqadha di kemudian hari. Apakah
hukumnya boleh? Apakah ada catatan khusus agar para wanita tidak
memakainya?
Jawaban : Menurut pendapat saya, sebaiknya wanita
tidak melakukan hal itu dan tetap mengikuti ketentuan Allah Subhanallahu
wa ta’ala dan ketetapan Allah Subhanallahu wa ta’ala kepada para
wanita, sesungguhnya haid ini mengandung hikmah bagi Allah dalam
menciptakannya. Hikmah sesuai tabiat wanita, apabila tabiat ini
terhalang niscaya terjadi reaksi berbahaya terhadap tubuh wanita, dan
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: 'Tidak boleh
membahayakan (diri sendiri) dan tidak pula membahayakan (orang lain).'
Hal ini dengan mengesampingkan bahaya obat ini terhadap rahim, seperti
yang disebutkan para dokter. Maka menurut pendapat saya dalam masalah
ini bahwa wanita tidak memakai obat ini. Dan segala puji bagi-Nya atas
ketentuan dan hikmah-Nya, apabila datang haid atasnya, ia menahan diri
dari puasa dan shalat, dan apabila ia telah suci ia memulai kembali
puasa dan shalat. Dan apabila berakhir Ramadhan, ia mengqadha puasanya
yang ketinggalan. (Syaikh Ibn Utsaimin rahimahullah).
8.
Pertanyaan: Saya seorang wanita berusia 25 tahun, akan tetapi sejak
kecil hingga usia 21 tahun saya tidak puasa dan tidak shalat karena
malas. Kedua orang tua sudah menasehati saya, akan tetapi saya tidak
perduli. Maka apakah yang wajib saya lakukan? Perlu diketahui bahwa
Allah Subhanallahu wa ta’ala telah memberi petunjuk kepada saya dan
sekarang saya puasa dan menyesali perbuatan di masa lalu.
Jawaban: Taubat meruntuhkan dosa-dosa di masa lalu. Maka engkau harus
menyesal, berniat dan bersungguh-sungguh dalam ibadah, memperbanyak
ibadah sunnah berupa shalat di malam dan siang hari, puasa sunnah,
zikir, membaca al-Qur`an, dan berdoa. Dan Allah Subhanallahu wa ta’ala
menerima taubat hamba dan mengampuni kesalahan. (Syaikh Bin Baz
rahimahullah).
9. Pertanyaan: Kebiasaan haid saya adalah
berkisar di antara tujuh dan delapan hari, terkadang di hari ketujuh
saya tidak melihat darah dan tidak merasa suci, maka apakah hukumnya
yang terkait puasa, shalat, dan jima'?
Jawaban : Janganlah
terburu-buru sehingga engkau melihat warna putih yang dikenal para
wanita, dan ia adalah tanda suci. Maka terhenti darah bukanlah tanda
suci, namun hal itu dengan melihat tanda suci dan berakhirnya masa
kebiasaan.
10. Pertanyaan: Apakah hukumnya keluar warna kuning saat nifas sepanjang empat puluh hari, apakah saya shalat dan puasa?
Jawaban: Sesuatu yang keluar dari wanita setelah melahirkan hukumnya
adalah sama seperti nifas, sama saja ia merupakan darah biasa atau
kuning atau keruh, karena ia pada saat kebiasaan sampai sempurna 40
hari. Maka yang sesudahnya, jika ia darah biasa dan tidak disela-sela
terputusnya darah nifas, dan jika tidak maka ia adalah istihadhah dan
semisalnya. (Syaikh Bin Baz rahimahullah).
11. Pertanyaan:
Bolehkah saya membaca buku-buku agama seperti buku-buku tafsir dan yang
lainnya, sedang saya dalam keadaan junub atas di saat haid?
Jawaban: Orang yang junub dan haid boleh membaca buku-buku tafsir,
fikih, sastra, hadits, tauhid, dan semisalnya. Yang dilarang hanyalah
membaca al-Qur`an menurut cara membaca, bukan berdoa atau mengambil
dalil dan semisalnya. (Syaikh Bin Baz rahimahullah).
12.
Pertanyaan: Apakah hukumnya darah yang keluar selain di waktu haid.
Kebiasaan haid saya setiap bulan adalah tujuh hari, akan tetapi pada
sebagian bulan, ia datang di luar kebiasaan namun dalam kadar yang jauh
lebih sedikit. Dan hal itu berlangsung selama satu atau dua hari, apakah
saya wajib shalat dan puasa saat itu ataukah mengqada?
Jawaban: Darah yang lebih dari kebiasaan ini adalah darah urat, tidak
termasuk darah kebiasaan. Maka wanita yang mengetahui masa kebiasaannya
tidak boleh shalat dan puasa, tidak boleh menyentuh mushhaf dan suaminya
tidak boleh mendatangi di kemaluan. Apabila ia telah suci dan berhenti
hari-hari kebiasaannya serta telah mandi, maka ia dalam hukum suci. Jika
ia melihat darah atau kuning atau warna keruh maka itu adalah darah
istihadhah yang tidak menghalanginya dari shalat dan semisalnya. (Syaikh
Bin Baz rahimahullah.)
13. Pertanyaan: saat saya masih kecil
di usia 13 tahun, saya berpuasa Ramadhan dan berbuka empat hari karena
haidh dan saya tidak memberi tahu orang lain karena malu. Sekarang hal
itu telah berlalu 8 tahun, maka apakah yang saya lakukan?
Jawaban: Anda telah melakukan kesalahan karena tidak mengqadha selama
masa ini. Maka sesungguhnya ini adalah sesuatu yang sudah ditentukan
Allah Subhanallahu wa ta’ala kepada para wanita dan tidak perlu malu
dalam masalah agama. Maka anda harus segera mengqadha 4 hari tersebut,
kemudian kamu harus membayar kafarat, yaitu memberi makan orang miskin
setiap hari, yaitu sekitar dua sha' dari makanan negeri untuk satu orang
miskin atau lebih. Syaikh Bin Baz rahimahullah.
14.
Pertanyaan: seorang wanita kedatangan darah di saat hamil sebelum
nifasnya 5 hari di bulan Ramadhan, apakah ia termasuk darah haid atau
nifas, apakah yang wajib atasnya?
Jawaban: Apabila persoalannya
seperti yang disebutkan bahwa ia melihat darah di saat hamil 5 hari
sebelum melahirkan. Maka jika ia tidak melihat tanda sudah dekatnya
kelahiran seperti pecah tutuban, maka ia bukan darah haid dan bukan pula
nifas. Bahkan ia adalah darah penyakit menurut pendapat yang shahih.
Dan atas dasar itu, ia tidak boleh meninggalkan ibadah, bahkan ia harus
puasa dan shalat. Dan jika darah merupakan salah satu tanda kelahiran
maka ia adalah darah nifas, ia harus meninggalkan shalat dan puasa,
kemudian apabila ia telah suci darinya setelah melahirkan, ia harus
mengqadha puasa, bukan shalat. (Lajnah daimah lil ifta').
15.
Pertanyaan: Seorang wanita yang sudah berusia 12 atau 13 tahun, telah
berlalu bulan Ramadhan dan ia tidak berpuasa. Apakah yang wajib atasnya
atau atas keluarganya, apakah ia telah wajib berpuasa, dan apabila ia
puasa apakah ada kewajiban yang lain?
Jawaban: Wanita menjadi
mukallaf dengan beberapa syarat yaitu: islam, berakal, dan baligh.
Baligh ditandai dengan haid atau bermimpi atau tumbuhnya bulu yang kasar
di sekitar kemaluan atau mencapai usia 15 tahun. Maka apabila
syarat-syarat kedewassan ini sudah ada pada wanita, maka ia telah wajib
berpuasa, ia wajib mengqadha puasa yang ditinggalkannya di saat
mukallafnya. Dan apabila kurang salah satu syaratnya maka ia belum
mukallaf dan tidak ada kewajiban apapun atasnya. (Lajnah daimah lil
ifta).
16. Pertanyaan: Apakah wanita haid harus berbuka di bulan Ramadhan dan berpuasa sejumlah hari yang dia tinggalkan?
Jawaban: Tidak sah puasa wanita haid dan tidak baginya melakukannya.
Maka apabila ia haid ia harus berbuka dan mengqadha sejumlah hari yang
ditinggalkannya. (lajnah daimah lil ifta').
17. Pertanyaan:
Apabila wanita telah suci langsung setelah fajar, apakah ia harus
menahan diri dan berpuasa pada hari itu dan dianggap satu hari untuknya
atau ia harus mengqadha hari tersebut?
Jawaban: Apabila darah
terputus darinya saat terbit fajar atau sebelumnya, niscaya puasanya sah
dan cukup dalam menunaikan kefardhuan, sekalipun ia belum mandi kecuali
setelah subuh. Adapun bila tidak terputus kecuali setelah subuh, maka
ia harus menahan diri pada hari itu dan tidak cukup baginya, bahkan ia
harus mengqadhanya setelah Ramadhan. (Syaik Bin Baz rahimahullah).
18. Pertanyaan: Seorang laki-laki menggauli istrinya setelah azan subuh
-dibulan ramadhan- setelah ia berniat berpuasa dan ini terjadi hingga
dua kali. Perlu diketahui bahwa istrinya ridha dengan hal itu. Dan
kejadian ini telah berlalu lebih dari 5 tahun, apa hukumnya?
Jawaban: suaminya harus mengqadha dua hari tersebut, dan ia harus
membayar kafarat jima di bulan Ramadhan seperti kafarah zhihar, yaitu
memerdekakan budak, Jika ia tidak mendapatkan, maka ia puasa selama dua
bulan berturut-turut, dan jika ia tidak mampu maka ia harus memberi
makan enam puluh orang muskin, dan istrinya juga punya kewajiban yang
sama, karena ia setuju dengan perbuatan itu yang telah ketahui
keharamannya. (Syaikh Bin Baz rahimahullah).
Wallahu'alam bissawab
SEMOGA BERMANFAAT
(Inspirasi Bapak Sugianto Parjan ) by mutiara air mata muslimah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar